I. PENDAHULUAN
Mendengar kata Rock Climbing (panjat tebing), kita seperti dikenalkan pada suatu jenis olahraga baru. Benarkah kita belum mengenalnya? Barangkali kita masih ingat masa kecil dulu, alangkah gembiranya kita bermain, memanjat tembok, pohon-pohon, atau batu-batu besar, di mana kita tidak memikirkan resiko jatuh dan terluka, yang ada adalah rasa gembira. Sebenarnya kegiatan Rock Climbing tidak jauh dari itu, cuma kali ini kita sudah memilih medan tertentu dengan memikirkan resikonya.
Pada dasarnya Rock Climbing adalah bagian dari Mountaineering (kegiatan mendaki gunung, suatu perjalanan petualangan ke tempat-tempat yang tinggi), hanya di sini kita menghadapi medan yang khusus. Dengan membedakan daerah atau medan yang dilalui, Mountaineering dapat dibagi menjadi : Hill Walking, Rock Climbing dan Ice/Snow Climbing. Hill Walking merupakan perjalanan biasa melewati serangkaian hutan dan perbukitan dengan berbekal pengetahuan peta/kompas dan survival. Kekuatan kaki menjadi faktor utama suksesnya suatu perjalanan. Untuk Rock Climbing, medan yang dihadapi berupa perbukitan atau tebing di mana sudah diperlukan bantuan tangan untuk menjaga keseimbangan tubuh atau untuk menambah ketinggian. Ice/Snow Climbing hampir sama seperti halnya dengan Rock Climbing, namun medan yang dihadapi adalah perbukitan atau tebing es/salju .
Kadang-kadang akan timbul pertanyaan pada kita, seperti ini : Kenapa sih naik gunung? George L. Mallory (pendaki Inggris) menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan, Because it’s there.. Lalu pertanyaan lain, Apa yang kau dapatkan di sana ? Seorang pendaki akbar, Reinhold Messner berkata : The mountains tell you, quite ruthlessly, who you are, and what you are. Mountaineering is a game where you can’t cheat …, more than that, what’s important is your determination cool nerves, and knowing how to make the right choice.
Olahraga seperti ini adalah nikmat, dan barangkali sedikit egois. Segala kenikmatan pada saat kita menyelesaikan sebuah medan sulit adalah milik kita sendiri, tidak ada sorak sorai, apalagi kalungan medali. Sebaliknya, adanya kecelakaan dalam suatu pendakian adalah karena kelalaian kita sendiri, kurang hati-hati dan kurang memperhitungkan kemampuan diri. Banyak pendaki yang melakukan turun tebing (rappeling / abseiling) dengan melompat dan sangat cepat, ini sangat berbahaya. Untuk kita, sebaiknya menganggap kegiatan panjat tebing sebagai hobi, seperti hobi-hobi lainnya. Sebagai gambaran bisa kita simak perkataan Walter Bonatti, seorang pendaki kawakan dari Italia, saat melakukakn pendakian solo pada dinding yang mengerikan di Swiss. Ketika ia sedang menghadapi kesulitan melewati overhang (dinding menggantung dengan kemiringan > 90 derajat), sebuah pesawat mengitarinya yang rupanya mencarinya. Kehadiran pesawat menekan kesendiriannya : “ Siapa yang mengatakan bahwa mereka melihatku ?, aku berfikir dan merasa bahwa pesawat tersebut adalah bagian dariku, yang kini meninggalkan dan merobek hatiku. Aku mulai sadar bahwa aku lebih suka jika terdapat kesunyian yang mutlak. Semua yang terjadi dalam waktu singkat tadi seakan-akan merupakan usaha akhir untuk menghubungkan diriku dengan kehidupan yang tidak mempunyai arti lagi bagiku. Pesawat itu berputar-putar kemudian meninggalkan diriku seperti mati.”
Akhirnya, marilah kita mencoba lebih mengenal panjat tebing yang nikmat itu. Pada tulisan ini, pembicaraan hanya terbatas pada pembahasan panjat tebing, dengan tidak mengecilkan yang lain, Hill Walking dan Ice/Snow Climbing.
II. KLASIFIKASI PANJAT TEBING
Dalam panjat tebing terdapat 2 klasifikasi pembedaan, yaitu :
1. Pembedaan yang pertama adalah antara Free Climbing dengan Artificial Climbing.Free Climbing adalah suatu tipe pemanjatan di mana si pemanjat menambah ketinggian dengan menggunakan kemampuan dirinya sendiri, tidak dengan bantuan alat. Dalam Free Climbing, alat digunakan hanya sebatas pengaman, bukan sebagai alat untuk menambah ketinggian. Bedanya dengan Artificial Climbing, di mana alat selain digunakan sebagai pengaman, juga berfungsi untuk menambah ketinggian.
2. Pembedaan yang kedua adalah antara Sport Climbing dengan Adventure Climbing.Sport Climbing adalah suatu pemanjatan yang lebih menekankan pada faktor olahraganya. Dalam Sport Climbing, pemanjatan dipandang seperti halnya olahraga yang lain, yaitu untuk menjaga kesehatan. Sedangkan pada Adventure Climbing, yang ditekankan adalah lebih pada nilai petualangannya.
III. KELAS DAN GRADE DALAM PANJAT TEBING
Kelas
Seperti dalam olahraga lainnya, seseorang atlit dapat diukur kemampuannya pada suatu tingkat pertandingan. Pemain catur dengan elorating dibawah 2000 tidak akan dapat mengikuti turnamen tingkat Gand Master. Dalam panjat tebing terdapat klasifikasi tebing berdasarkan tingkat kesulitannya, dengan demikian kita dapat mengukur sampai di mana kemampuan kita. Kelas yang dibuat oleh Sierra Club adalah :
Kelas 1:Cross Country Hiking
Perjalanan biasa tanpa membutuhkan bantuan tangan untuk mendaki / menambah ketinggian.
Kelas 2:Scrambling
Sedikit dengan bantuan tangan, tanpa tali.
Kelas 3:Easy Climbing
Secara scrambling dengan bantuan , dasar teknik mendaki (climbing) sangat membantu, untuk pendaki yang kurang pengalaman dapat menggunakan tali.
Kelas 4:Rope Climbing with belaying
Belay (pengaman) dipasang pada anchor (titik tambat) alamiah atau buatan,berfungsi sebagai pengaman.
Kelas 5
Kelas ini dibagi menjadi 11 tingkatan (5.1 sampai 5.14), di mana semakin tinggi angka di belakang angka 5, berarti semakin tinggi tingkat kesulitan tebing. Pada kelas ini, runners dipakai sebagai pengaman.
Kelas A
Untuk menambah ketinggian, seseorang pendaki harus menggunakan alat. Dibagi menjadi lima tingkatan (A1 sampai A5). Contoh : Pada tebing kelas 5.4 tidak dapat dilewati tanpa bantuan alat A2, tingkat kesulitan tebing menjadi 5.4 – A2.
Grade
Merupakan ukuran banyaknya teknik pendakian yang diperlukan. Faktor rute yang sulit dan cuaca buruk dapat menambah bobot grade menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh, tebing kelas 5.7 yang rendah dan dekat dengan jalan raya, mungkin akan mempunyai grade I (satu). Pembagian grade adalah sebagai berikut.
tabel 1. pembagian grade
IV. ETIKA DAN GAYA DALAM PANJAT TEBING
A.ETIKA
Menurut KUBI, etika berarti nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Pelanggaran terhadap suatu nilai biasanya tak akan mendapatkan sanksi yang legal. Dan antara suatu masyarakat dengan masyarakat lain sering kali mempunyai etika yang berbeda terhadap suatu hal yang sama.
Di antara masyarakat pemanjat, juga terdapat etika yang kerap berbenturan. Suatu contoh adalah ketika Ron Kauk membuat suatu jalur dengan teknik rap bolting di kawasan Taman Nasional Lembah Yosemite, Amerika Serikat. Kawasan pemanjatan ini terkenal sebagai kawasan pemanjat tradisional dan mempunyai peraturan konservasi alam yang ketat. Pembuatan jalur dengan cara demikian tak dapat dibenarkan oleh para pemanjat tradisional di kawasan ini, di antaranya adalah John Bachar. Bachar menganggap bahwa semua jalur yang ada di Yosemite harus dibuat dengan cara tradisional, yaitu sambil memanjat (leading). Kasus ini menjadi besar karena sampai menimbulkan perkelahian di antara kedua pemanjat yang berlainan aliran itu. Kasus tersebut menggambarkan bagaimana etika sering menimbulkan perdebatan. Kasus ini hanya salah satu dari berbagai masalah yang kerap timbul di sekitar pembuatan jalur.
Sebetulnya ruang lingkup etika dalam panjat tebing terdiri dari :
Masalah teknik pembuatan jalur
Secara umum ada dua aliran teknik pembuatan jalur yang dewasa ini banyak dianut, yaitu aliran tradisional dan aliran modern. Pembuatan jalur secara tradisional pada prinsipnya adalah membuat jalur sambil memanjat. Teknik ini cenderung bernilai petualangan karena lintasan yang akan dilewati sama sekali baru, tanpa pengaman, tanpa dicoba terlebih dahulu. Teknik tradisional ini berkembang di Eropa sampai tahun 70-an, namun kini masih dianut oleh pemanjat tradisional Amerika. Sementara itu pembuatan jalur secara modern terdiri dari dua cara yang banyak digunakan. Cara pertama adalah dengan teknik tali tetap (fix rope technique). Pada teknik ini, pembuatan jalur dapat dilakukan dengan cara rappeling bolting atau ascending bolting pada fix rope yang telah terpasang terlebih dahulu. Cara kedua mirip dengan cara pertama, tetapi tidak dengan tali tetap melainkan menggunakan top rope. Kelebihan cara ini, pembuat jalur dapat membuat perencanaan arah jalur dan penempatan pengaman lebih presisi karena gerakan pemanjatan dapat diketahui terlebih dahulu.
Masalah penamaan jalur
Siapa yang berhak memberi nama pada suatu jalur, si pembuat jalur atau pemanjat pertama yang menuntaskan jalur, juga tidak ada aturannya. Biasanya si pembuat jalur bersikeras untuk menjadi orang pertama yang menuntaskan jalur tersebut. Kadang-kadang mencapai waktu berbulan-bulan untuk membuat sekaligus menuntaskan suatu jalur baru. Tapi ada kalanya jalur yang dibuat terlalu sulit dan jauh di luar kemampuan si pembuat jalur itu. Di Indonesia biasanya nama jalur merupakan suatu kesepakatan saja dari seorang atau sekelompok pembuat jalur.
Masalah keaslian jalur
Masalah keaslian jalur biasanya dikaitkan dengan banyaknya jumlah pengaman tetap yang ada dalam jalur tersebut. Suatu jalur, misalnya dengan jumlah bolt sebanyak 7 buah akan tetap 7 dan tak boleh bertambah atau berkurang lagi karena dalam kode etiknya, ini sudah resmi menjadi sebuah jalur. Yang menjadi masalah, apakah suatu jalur dengan jarak antar bolt yang sangat jauh tak dapat ditambah dalam batas-batas yang wajar? Juga sebaliknya, apakah jalur yang jarak antar boltnya terlalu rapat tak dapat dikurangi? Tradisi di Yosemite, bila seseorang berhasil memanjat suatu jalur yang cukup mudah, katakanlah setinggi 15 meter, dengan hanya 2 bolt saja, hal ini berlaku bagi semua pemanjat yang akan menggunakan jalur tersebut tanpa penambahan bolt lagi. Tradisi ini memang mendapat protes dari banyak pemanjat pemula yang merasa sanggup menuntaskan jalur tersebut, namun tak mau mengambil resiko dengan hanya menggunakan 2 bolt saja. Contoh lain adalah jika seseorang pemanjat merasa suatu jalur dengan jumlah bolt yang wajar terlalu mudah, berhakkah ia mengurangi jumlah bolt yang ada? Sampai sejauh mana kita bisa menghargai prinsip pemanjatan pertama? (sampai yang paling ekstrim)
Pengubahan bentuk permukaan tebing
Untuk masalah yang satu ini, hampir semua pemanjat sepakat bahwa hal itu haram untuk dilakukan, baik itu menambah kesulitan maupun membuat jalur tersebut menjadi lebih mudah. Walaupun begitu sebagian kecil dari seluruh kawasan pemanjatan yang ada (hanya sebagian kecil) yang menerima hal ini, namun hanya pada permukaan yang tanpa cacat sama sekali (blank/no holds) agar kesinambungan jalur sebelum dan sesudahnya dapat terjaga.
B. GAYA
Pengertian gaya didalam panjat tebing menyangkut metode dan peralatan serta derajat petualangan dalam suatu pendakian. Petualangan berarti tingkat ketidakpastian hasil yang akan dicapai.
Gaya harus sesuai dengan pendakian. Gaya yang berlebihan untuk tebing yang kecil, sebaik apapun gaya tersebut akhirnya menjadi gaya yang buruk. Mendaki secara alamiah dengan bantuan teknis terbatas adalah gaya yang baik. Kita harus bekerja sama denga tebing, jangan memaksanya. Kita dapat menggunakan point-point alamiah seperti batu, tanduk (horn), pohon, atau pada batu yang terjepit didalam celah (Chockstone). Akhirnya kita sampai pada pendakian sendiri, tanpa menggunakan tali, Maksudnya adalah menyesuaikan gaya dengan pendakian dan kemampuan diri. Gaya yang baik adalah persesuaian yang sempurna – penapakan dari dua sisi yang baik antara ambisi dan kemampuan.
Tidak ada pendakian yang sama. Standar yang baik selalu dapat diterapkan dan juga memungkinkan penyelesaian menjadi kepribadian masing-masing rute. Itulah prinsip pendakian pertama kita tadi. Prinsip tersebut dapat membimbing kita dalam masalah gaya dan etika. Kita telah memiliki standar minimum yang telah siap dan tersedia untuk dijadikan sasaran. Penerimaan terhadap prinsip ini memungkinkan kita untuk meniadakan pertentangan pendapat tentang gaya umum. Keuntungan lain adalah gaya dari pendakian pertama adalah gaya yang layak, dan memberikan keuntungan psikologis kepada pendaki-pendaki berikutnya bahwa rute tersebut, paling tidak, pernah dicoba. Dengan menghargai orang-orang yang menyelesaikannya, dan memperlihatkan bahwa kita paham akan nilainya, serta menganggap pendakian mereka sebagai suatu hasil karya, maka pendakian meraka bukanlah sesuatu yang harus dikalahkan.
Dalam bukunya How to Rock Climb: Face Climbing, John Long menguraikan dan membuat klasifikasi yang lebih sempit mengenai beberapa gaya yang ada, di antaranya adalah :
Onsight Free Solo
Istilah onsight berarti memanjat suatu jalur tanpa pernah mencoba dan juga belum pernah melihat orang lain memanjat dijalur tersebut. Jadi jalur tersebut dipanjat tanpa informasi apa-apa. Sedangkan solo berarti tanpa tali. Jadi onsight free solo berarti pemanjatan tali untuk pertama kali bagi seorang pemanjat tanpa informasi apa-apa.
Free Solo
Pemanjatan suatu jalur tanpa menggunakan tali, tapi pernah mencoba walaupun belum hapal benar jalur tersebut.
Worked Solo
Pemanjatan tanpa tali dengan sebelumnya pernah mencoba berkali-kali sampai benar-benar hapal mati seluruh bentuk permukaan tebing.
Onsight Flash / Vue
Memanjat suatu jalur tanpa pernah mencobanya, melihat pemanjat lain dijalur yang sama, juga tak pernah mendapat informasi apa-apa. Memanjat dengan menggunakan tali sebagai perintis jalur (leader) dan memasangpengaman (running belay). Pemanjat juga tidak sekalipun jatuh dan tidak mengambil nafas/istirahat disepanjang jalur.
Beta Flash
Pemanjatan tanpa mencoba dan melihat orang lain memanjat dijalur tersebut, namun telah mendapat informasi tentang jalur dan bagian-bagian sulitnya (crux). Pemanjat kemudian memanjatnya tanpa jatuh dan tanpa istirahat sepanjang jalur.
Déjà vu
Seorang pemanjat sudah pernah memanjat suatu jalur sekian tahun sebelumnya dan gagal menuntaskannya. Setelah sekian tahun itu, dengan kemampuan memanjat yang lebih baik , ia kembali dengan hanya sedikit ingatan tentang jalur tersebut dan berhasil menuntaskan jalur pada percobaan pertama.
Red Point
Memanjat suatu jalur yang telah dipelajari dengan sangat baik, tanpa jatuh dan memanjat sambil memasang pengaman sebagai perintis jalur.
Pink Point
Sama dengan red point hanya semua pengaman telah dipasang pada tempatnya.
Brown Point
Ada beberapa macam untuk kategori ini, misalnya seorang pemanjat merintis suatu jalur, lalu jatuh dan menarik tali, kemudian meneruskan pemanjatan dari titik pengaman terakhir ia jatuh (hangdogging). Pemanjatan dengan top rope juga termasuk dalam kategori ini. Lalu ada lagi pemanjatan dengan bor pertama dipasang terlebih dahulu. Sebenarnya masih banyak lagi yang masuk dalam kategori ini. Seluruh kategori ini menceritakan berbagai taktik, strategi, atau trik untuk mempelajari sekaligus mencoba menuntaskan suatu jalur.
Setelah begitu banyak melihat gaya pemanjat dalam menuntaskan jalur,kita dapat dapat membandingkan mana yang lebih sulit. Dengan begitu dapat pula dibandingkan perbedaan kemampuan seorang pemanjat.
C. PERTIMBANGAN LAIN
1. Gunakan Chock dan Runners (titik pengaman) Alam. Pendakian tebing adalah sesuatu kesatuan yang harus ditangani secara hati-hati. Yang harus diperhatikan adalah masalah penggunaan runners alam dan chockstone buatan, karena alat tersebut membiarkan tebing tetap utuh.
Pengunaan piton (paku tebing) dalam suatu pendakian masih menimbulkan cacat pada tebing. Kerusakan yang ditimbulkannya adalah karena :
a. Mempersulit atau mempermudah rute dengan merubah sifatnya.
b. Menimbulkan noda-noda goresan yang tidak sedap dipandang.
c. Dapat melepas belahan batu besar atau serpihan-serpihan batu.
Jadi walaupun dalam kasus-kasus dimana pendakian pertama menggunakan piton, kita harus berusaha memperkecil penggunaan piton karena sifatnya yang merusak
2. Sampah
Jika kita membawa kaleng makan dalam suatu pendakian, injak kaleng tesebut dan bawalah keatas. Lebih baik lagi jika membawa makanan yang tidak dalam kaleng. Kulit jeruk sebaiknya disimpan kembali karena tidak dimakan oleh binatang dan sangat lambat pembusukannya.
V. TEKNIK PANJAT TEBING
A. STRUKTUR GUNUNG
Dengan mengetahui struktur suatu gunung, akan lebih mudah bagi kita untuk merencanakan sebuah rute yang akan didaki. Merencanakan tempat untuk berhenti istirahat, dan sebagainya. Faktor lain yang memiliki kaitan erat adalah musim dan cuaca terutama arah angin. Akan lebih sulit apabila kita mendaki dinding selatan pada saat angin bertiup kencang dari arah selatan daripada kalau angin bertiup dari utara.
Sebelum seseorang memanjat tebing, seperti juga pada Hill Walking, maka diperlukan pengetahuan rute yang akan diambil. Di negara-negara maju disediakan buku petunjuk rute suatu tebing dengan tingkat kesulitannya. Pendaki dapat memilih rute yang akan didaki dengan memperhitungkan kemampuannya.
B. PERALATAN PANJAT TEBING
1. Tali
Fungsi utama tali adalah untuk melindungi pendaki dari kemungkinan jatuh sampai menyentuh tanah (freefall). Berbagai jenis tali yang digunakan dalam Panjat Tebing adalah :
a. Tali serat alam
Jenis tali ini sudah jarang digunakan. Kekuatan tali ini sangat rendah dan mudah terburai. Tidak memiliki kelenturan, sehingga membahayakan pendaki.
b. Hawser Laid
Tali sintetis, plastik, yang dijalin seperti tali serat alam. Masih sering digunakan terutama untuk berlatih turun tebing. Tali ini relatif lebih kuat dibanding tali serat alam dan tidak berserabut. Kelemahannya adalah kurang tahan terhadap zat kimia, sulit dibuat simpul dan mempunyai kelenturan rendah serta berat.
c. Core dan Sheat Rope (Kernmantel Rope)
Tali yang paling banyak digunakan saat ini, terdiri dari lapisan luar dan dalam. Yang terkenal adalah buatan Edelrid, Beal dan Mammut. Ukuran tali yang umum dipakai bergaris tengah 11 mm, panjang 45 m. Untuk pendakian yang mudah, snow climbing, atau untuk menaikkan barang dipakai yang berdiameter 9 mm atau 7 mm. Tali ini memiliki sifat-sifat :
- Tidak tahan terhadap gesekan dengan tebing, terutama tebing laut (cliff). Bila dipakai untuk menurunkan barang, sebaiknya bagian tebing yang bergesekan dengan tali diberi alas (pading). Tabu untuk menginjak tali jenis ini.
- Peka (tidak tahan) dengan zat kimia.
- Tidak tahan terhadap panas. Bila tali telah dicuci sebaiknya dijemur di tempat teduh.
- Memiliki kelenturan yang baik bila mendapat beban kejut (karena pendaki jatuh, misalnya)
Pada umumnya tali-tali tersebut akan berkurang kekuatannya bila dibuat simpul. Sebagai contoh, simpul delapan (figure of eight) akan mengurangi kekuatan tali sampai 10%.
Karena sifat tali yang demikian, maka dibutuhkan perawatan dan perlakuan yang baik dan benar. Cara menggulung tali juga perlu diperhatikan agar tidak kusut, sehingga tidak mudah rusak dan mudah dibuka bila akan digunakan. Ada beberapa cara menggulung tali, antara lain :
- Mountaineers coil
- Skein coil
- Royal robin style
gambar2. berbagai teknik menggulung tali
2. Webbing (tali pita) dan Sling
Seringkali kita menyebut webbing sebagai sling atau sebaliknya. Webbing memiliki bentuk seperti pita, dan ada dua macam. Pertama lebar 25 mm dan berbentuk tubular, sering digunakan untuk :
- Harness (tali tubuh), swami belt, chest harness, atau
- Alat bantu peralatan lain, sebagai runners (titik pengaman), tangga (etrier) atau untuk membawa peralatan.
Webbing yang lain memiliki lebar 50 mm dan berbentuk pipih, yang biasa digunakan untuk macam-macam body slings. Webbing yang sering disebut juga sebagai flat rope adalah produk sampingan perang dunia II.
gambar 3. carabiner screw gate
3. Carabiners (snapring, snapling, cincin kait)
Secara prinsip, carabiner digunakan untuk menghubungkan tali dengan runners (titik pengaman), sehingga carabiner dibuat kuat untuk menahan bobot pendaki yang terjatuh.
Persyaratan yang harus dibuat oleh assosiasi pembuat peralatan panjat tebing mengharuskan carabiner dapat menahan bobot 1200 kilogram force (kp) atau sekitar 2700 pounds. Sedangkan beban maksimum yang diperbolehkan adalah sekitar 5000 pounds.
Carabiner yang terbuat dari campuran alumunium (Alloy) ini sangat ringan dan cukup kuat, terutama yang bebentuk D. Carabiner yang terbuat dari baja mempunyai kekuatan yang sangat tinggi sampai 10.000 pounds tetapi relatif berat bila dibawa dalam jumlah banyak untuk suatu pendakian.
Berikut ini adalah tabel daftar carabiners, pabrik pembuat dan kekuatan menahan bobot. Bagian yang paling lemah dari carabiner adalah pin, carabiner bentuk D relatif lebih aman dibanding bentuk oval, karena terdapat cekungan yang memberi ruang bagi pin saat carabiner mendapat beban. Kelebihan dari carabiner bentuk oval adalah relatif mudah dikaitkan pada piton.
tabel 2. kekuatan carabiner
Ada carabiner yang dilengkapi tutup pada pintunya (screw gate). Hal ini dimaksudkan agar carabiner tidak tebuka gatenya karena sesuatu hal. Tentunya carabiner ini lebih berat dibandingkan yang tanpa tutup (non screw gate).
4. Piton (peg, paku tebing)
Terbuat dari bahan metal dalam berbagai bentuk. Berfungsi sebagai pengaman, piton ini ditancapkan pada rekahan tebing. Sebagai kelengkapan untuk memasang atau melepas piton digunakan hammer.
gambar 4. Piton
Pada umumnya piton dapat digolongkan dalam 4 jenis, yaitu Bongs, Bugaboos, Knife-blades dan Angle. Piton jenis angle, knife-blades, dan bongs biasanya digunakan untuk rekahan horizontal maupun vertikal. Sedangkan yang bugaboos biasanya dibuat khusus untuk horizontal atau vertikal saja.
Cara pemasangan piton sangat sederhana. Setelah memeriksa rekahan yang akan dipasang piton, kita memilih piton yang cocok dengan rekahan, lalu ditancapkan dan pukul dengan hammer. Salah besar kalau kita memilih piton dulu baru memilih rekahan pada tebing. Untuk mengetahui rapuh tidaknya rekahan yang akan kita pasang piton, adalah dengan memukulkan hammer pada tebing sekitar rekahan. Suara yang nyaring menunjukkan rekahan tersebut tidak rapuh.
Adakalanya rekahan yang kita hadapi membutuhkan cara pemasangan yang berbeda dan atau perlu dimodifikasi dengan alat lain, sehingga perlu beberapa cara khusus dalam pemasangannya.
Cara melepas piton adalah dengan menggunakan hammer yang kita pukulkan pada mata piton searah dengan rekahan sampai pada akhirnya piton dapat ditarik.
gambar 5. Berbagai jenis piton dan hammer
gambar 6.Memasang Piton
5. Chock
Disamping piton, chock juga berfungsi sebagai alat pengaman (runners). Dibuat dalam beberapa jenis dan ukuran, dapat dibagi menjadi : sling chock, wired chock, dan rope chock. Diantaranya berbentuk hexentric dan foxhead.
gambar 7. Chock dan pemasangannya
Chock dibuat dari alumunium alloy sehingga sangat ringan. Cara memasang chock adalah dengan menyangkutkan pada rekahan. Sangat disukai pemanjat yang berpengalaman, karena mudah menempatkannya pada rekahan dan tidak memerlukan tenaga serta waktu banyak seperti halnya memasang piton.
6. Ascendeur
Ascendeur digunakan sebagai alat bantu naik, merupakan perkembangan dari prusik, mudah mendorongnya ke atas tapi dapat menahan beban. Dalam menggunakan ascendeur sebaiknya menggunakan sling terlebih dahulu sebelum disangkutkan pada carabiner. Ascendeur terbagi menjadi 2 jenis yaitu :
a. Jumar
Merupakan alat bantu naik pertama, terbuat dari kerangka alumunium dan baja. Alat ini dapat dipakai untuk tali berdiameter 7 – 11 mm dan berkekuatan 1100 pounds. Jumar sendiri dapat dibagi menjadi 3 macam :
- Standard jumar
- Jumar
- Jumar CMI 5000 (ColoradoMountains Industries). Jenis ini mempunyai kekuatan sekitar 5000 pounds dan carabiner dapat langsung disangkutkan pada kerangkanya.
b. Clog
Alat naik mekanis yang lain, mempunyai prinsip kerja yang sama seperti jumar. Alat ini banyak digunakan di Inggris.
7. Descendeur
Alat ini digunakan turun tebing (abseiling, rapeling). Pada prinsipnya untuk menjaga agar pendaki tidak meluncur bebas. Keuntungan lainnya adalah tubuh tidak tergesek tali, sehingga tidak terasa panas.
gambar 8. jenis descendeur
Beberapa jenis descendeur :
a. Figure of eight
b. Brake bar
c. Bobbin (petzl descendeur)
- single rope
- double rope
d. Modifikasi carabiner . Carabiner yang kita susun sedemikian rupa sehingga berfungsi semacam brake bar.
8. Etrier (tangga)
Bila rute yang akan dilalui ternyata sulit, karena tipisnya pijakan dan pegangan, maka etrier ini sangat membantu untuk menambah ketinggian. Pada Atrificial Climbing, etrier menjadi sangat vital, sehingga tanpa alat ini seorang pendaki akan sulit sekali untuk menambah ketinggian.
gambar 9. etrier
9. Harness
Harness sangat menolong untuk menahan tubuh, bila pendaki terjatuh, Juga akan mengurangi rasa sakit dibandingkan bila kita menggunakan tali langsung ke tubuh dengan simpul bowline on a coil.
Harness yang baik tidak akan mengganggu gerak tubuh dari pendaki. Akan tetapi sangat terasa gunanya bila pendaki dalam posisi istirahat.
Jenis – jenis harness :
a. Full body harness
Harness ini melilit di seluruh tubuh, relatif aman dan biasanya dilengkapi dengan sangkutan alat disekeliling pinggang. Sering dipakai di medan salju/es.
b. Seat harness
Harness ini lebih sering dipakai, mungkin karena tidak begitu mengganggu pendaki dalam bergerak. Seat harness dapat dibuat dari webbing (swami belt) dan diapersling atau dengan menggunakan figure of eight sling.
10. Helm
Bagian tubuh yang paling lemah adalah kepala, sehingga perlu mengenakan helm untuk melindungi dari benturan tebing saat pendaki terjatuh atau bila ada batu yang berjatuhan. Meskipun helm agak mengganggu, tetapi kita akan terhindar dari kemungkinan terluka atau keadaan fatal.
11. Sepatu
Sepatu sangat berpengaruh pada suatu pendakian, ini pun tergantung pada medan yang akan dilalui. Untuk medan batu kapur yang licin dipakai sepatu yang bersol tipis dan rata. Sedangkan untuk medan sand stone (batu pasir) atau medan basah dipakai yang bersol tebal dan bergerigi. Sepatu panjat biasa dibuat tinggi, untuk melindungi mata kaki.
C. PENGETAHUAN TALI-TEMALI
Tati-temali merupakan pengetahuan dasar penting untuk seorang pendaki. Beberapa simpul yang perlu diketahui adalah:
1. Figure of eight knot (simpul delapan)
Paling sering dipakai, mudah dibuat serta melepaskanya setelah mendapat beban. Simpul ini dipakai untuk menyambung tali.
gambar 10. Figure of Eight Knot dan Water Knot
2. Water knot (simpul pita)
Sering digunakan untuk menyambung webbing/sling/tali pita, meskipun dalam keadaan basah.
3. Bowline
Biasanya dipakai untuk anchor (titik tambat), karena sifatnya yang bila mendapat beban akan semakin mengikat. Bowline terdiri dari :
a. Basic bowline
b. Bowline on the bight
gambar 11. Basic Bowline dan Bowline on The Bight
4. Fisherman’s knot (simpul nelayan)
Simpul ini sangat baik untuk menyambung tali, baik tali dalam keadaan basah ataupun bila dua tali yang disambung berbeda ukuran. Yang biasa digunakan :
a. Single fisherman’s knot
b. Double fisherman’s knot
gambar 11. Single Fisherman’s knot dan Double Fisherman’s knot
5. Sheet bend
6. Prusik
7. Overhand Loop
gambar 12. Sheet band, Prusik dan Overhand Loop
D. PRAKTIK PANJAT TEBING
1. Bergerak
Bergerak pada tebing lebih menuntut perhatian kita dalam menggunakan kaki. Pijakan kaki yang mantap akan lebih memudahkan kita dalam bergerak dan untuk memperoleh keseimbangan tubuh. Seorang yang baru belajar panjat tebing biasanya akan memusatkan perhatian pada pegangan tangan. Hal ini justru akan mempercepat lelah dan kehilangan keseimbangan.
Tangan sebenarnya hanya membantu kaki dalam mencapai keseimbangan tersebut, kecuali untuk kasus-kasus tertentu, seperti melewati overhang, layback, dsb. Untuk itu, bagi pemula sebaiknya memusatkan perhatian untuk mencari pijakan (foot hold). Dan membisikkan pada dirinya sendiri “lihat ke bawah….!”.
Unsur terpenting dalam panjat tebing adalah keseimbangan; bilamana menempatkan tubuh, sehingga beban tubuh dapat terpusat pada titik-titik pijakan. Prinsip tiga point sangat baik untuk diterapkan. Yaitu hanya menggerakan satu anggota badan saja (kaki kiri/kanan dan tangan kiri/kanan), sementara tiga anggota badan lain tetap pada pijakan/pegangan.
Kesalahan lain yang biasa dibuat oleh seorang pemanjat pemula adalah menempelkan tubuhnya rapat ke tebing. Hal ini justru merusak keseimbangannya. Tubuh yang menempel pada tebing akan menyusahkan seorang pendaki dalam bergerak.
Dalam melakukan gerakan, tidak perlu mencari pegangan yang terlalu tinggi karena akan cepat menguras tenaga. Seperti halnya bila kita berjalan dengan langkah lebar tentu akan cepat lelah. Bergeraklah seperti ‘puteri solo’, melakukan langkah kecil, tenang tapi pasti.
Hal lain yang mendukung dalam setiap jenis olahraga adalah semangat. Dengan berlatih serius tentu kita akan dapat bergerak dengan anggun. Ada perkataan seperti ini, “The best training for rock-climbing is rock-climbing”, ya berlatih panjat tebing sebaiknya ditebing, melakukan panjat tebing itu sendiri.
Sekali lagi, cobalah untuk mengingatkan diri sendiri dengan membisikkan kata-kata, “lihat ke bawah….”.
2. Menggunakan Kaki
Dalam setiap gerakan, pengerahan energi harus diperhitungkan, sehingga pada saat dibutuhkan, energi tersebut dapat dikerahkan secara penuh. Konservasi energi dengan koordinasi antara otak dengan tubuh adalah keseimbangan antara apa yang terpikir dan apa yang mampu dilakukan tubuh kita.
Posisi telapak kita jelas akan menentukan ketepatan titik beban pada kaki. Menempelkan lutut pada tebing justru akan merusak keseimbangan. Usahakan untuk merencanakan penempatan kaki dahulu sebelum mencari pegangan tangan. Gambar di bawah menunjukkan beberapa penempatan kaki.
3. Menggunakan Tangan
Setelah menempatkan posisi kaki dengan benar, tangan akan membantu dalam mencapai keseimbangan tubuh seseorang pendaki dengan memanfaatkan rekahan atau tonjolan batu. Rekahan tersebut bisa berupa rekahan kecil dan besar yang cukup untuk seluruh badan. Tonjolan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga macam, tonjolan tajam (incut), tonjolan datar (flat), dan tonjolan bulat (rounded/sloping).
Berdasarkan retakan dan tonjolan tebing, maka pegangan dapat dibagi menjadi beberapa macam:
a. Pegangan biasa
Untuk tonjolan yang cukup besar (incut dan flat), seluruh tangan dapat digunakan, tapi ada kalanya sangat kecil sehingga hanya jari yang dapat digunakan.
gambar 13. Flat Hold, Pressure push hold
b. Pegangan Tekan (pressure push hold)
Pegangan ini diperoleh dengan cara mendorong tangan pada bidang batu yang cukup luas.
c. Pegangan Jepit
Jenis ini dipakai untuk tonjolan bulat (rounded atau slopping). Kalau tonjolan ini cukup besar bisa seluruh tangan digunakan, tetapi bila kecil hanya jari saja yang digunakan.
d. Jamming
Pegangan ini dilakukan secara khusus, yaitu dengan cara menyelipkan tangan sehingga menempel dengan erat. Sesuai besar kecilnya celah batu jamming dibagi atas beberapa macam:
- jamming dengan jari atau tangan (finger and hand jamming)
- jamming dengan kepalan atau lengan (fist and arm jamming)
gambar 14. Jamming
4. Gerakan Khusus Dalam Panjat Tebing
Dalam bergerak, sering dijumpai kondisi medan yang sulit dilewati dengan hanya mengandalkan teknik pegangan biasa. Untuk itu, ada beberapa gerakan khusus yang penting diketahui.
a. Layback
Diantara dua tebing yang berhadapan dan membentuk sudut tegak lurus, sering dijumpai suatu retakan yang memanjang dari bawah ke atas. Gerakan ke atas untuk kondisi tebing seperti itu dengan mendorong kaki pada tebing di hadapan kita dan menggeser-geserkan tangan pada retakan tersebut ke atas secara bergantian pada saat yang sama. Gerakan ini sangat memerlukan pengerahan tenaga yang besar, karenanya gerakan harus dilakukan secara tepat sebelum tenaga kedua tangan habis.
b. Chimney
Bila kita menemukan dua tebing berhadapan yang membentuk suatu celah yang cukup besar untuk memasukkan tubuh, cara yang dilakukan adalah dengan chimney yaitu dengan menyandarkan tubuh pada tebing yang satu dan menekan atau mendorong kaki dan tangan pada dinding yang lain. Tindakan selanjutnya adalah dengan menggeser-geserkan tangan, kaki dan tubuh sehingga gerakan ke atas dapat dilakukan. Berdasarkan lebar celah batu yang kita hadapi, maka chimney dapat dibagi atas:
- Wriggling
Wriggling dilakukan pada celah yang tidak terlalu luas sehingga cukup untuk tubuh saja.
- Backing Up
Backing Up dilakukan pada celah yang cukup luas, sehingga badan dapat menyusup dan bergerak lebih bebas.
- Bridging
Bridging dilakukan pada celah yang sangat lebar sehingga hanya dapat dicapai apabila merentangkan kaki dan tangan selebar-lebarnya.
c. Mantelshelf
Dilakukan bila menghadapi suatu tonjolan datar atau flat yang luas sehingga dapat menjadi tempat untuk berdiri. Caranya yaitu dengan menarik tubuh dengan kekuatan tangan dan tolakan kaki sehingga dapat melalui tonjolan tadi. Salah satu kaki kemudian menginjak dataran batu tersebut sejajar dengan tangan, disusul dengan kaki yang lainnya.
d. Cheval
Cara ini dilakukan pada batu yang biasa disebut arete yaitu bagian punggung tebing batu dengan bidang yang sangat tipis dan kecil.Pendaki yang menggunakan cara ini mula-mula duduk seperti menungang kuda pada arete, lalu dengan kedua tangan menekan bidang batu dibawahnya, ia mengangkat atau memindahkan tubuhnya ke atas.
e. Traversing
Adalah gerakan menyamping atau horisontal dari suatu tempat ke tempat lain. Gerakan ini dilakukan untuk mencari bidang batu yang baik untuk dipanjat, untuk mencari rute yang memungkinkan menuju ke atas. Karena gerakan ini horisontal, biasanya lebih banyak digunakan tangan dari pada kaki (hand traveserse).
gambar 15. Traversing
f. Slab Climbing / Friction Climbing
Dilakukan pada tebing yang licin dan tanpa celah atau rekahan serta kondisi tidak terlalu curam.
5. Leading and Runners
a. Leading (memimpin pendakian)
Umumnya dalam setiap pendakian, harus ada seorang yang menjadi pendaki pertama (leader), biasanya dipilih seorang yang berpengalaman. Untuk menjadi leader dibutuhkan pengetahuan yang cukup tentang panjat tebing. Ketenangan dalam menyelesaikan rute-rute sulit, menempatkan piton-piton dan chock dengan tepat, keyakinan untuk bergerak ke atas dengan mulus serta dengan keyakinan pula menempatkan diri pada posisi istirahat. Bila rute tersebut masih asri / belum terjamah sebelumnya, maka menciptakan rute baru menurut seorang pendaki terkenal merupakan karya seni yang luar biasa. Untuk mengamankan dirinya dari kemungkinan jatuh, seorang leader akan menempatkan suatu rangkaian jalur pengaman pada tempat-tempat yang tepat. Jalur pengaman (runners) yang dibuat selurus mungkin, ini dimaksudkan untuk mengurangi gesekan antara karabiner dengan tali pengaman. Hal ini untuk mencegah copotnya runners.
b. Runners
Runners adalah tempat tumpuan tali pengaman yang dipasang oleh pendaki pertama untuk memperkecil jarak jatuh yang mungkin timbul. Semakin banyak runners yang dipakai, makin terjaga pula pengamanan untuk si pendaki. Akan tetapi banyak juga para pendaki yang beranggapan bahwa pemakainan runners harus sesedikit mungkin, untuk menjaga kelestarian tebing bersangkutan. Runners umumnya dipakai untuk proteksi pendaki pertama, akan tetapi untuk kasus-kasus tertentu bisa juga dipakai untuk proteksi pendaki kedua. Sesuai perkembangan peralatan panjat tebing, runners dapat dibentuk dari banyak alat. Akan tetapi pada prinsipnya runners dapat dibentuk dengan piton, sling, dan chock.
6. Belaying dan Anchor
a. Belaying
Merupakan hal yang penting dalam suatu rangkaian panjat tebing (claimbing chain). Belayer yang baik harus terlatih sehingga dapat menyelamatkan leader, bila leader terjatuh. Untuk itu dibutuhkan latihan, disamping memahami cara-cara yang tepat. Komunikasi antara belayer dengan leader harus jelas dan dimengerti oleh kedua belah pihak. Karena adakalanya leader minta belayer untuk mengendorkan tali (slack) ataupun mengencangkan tali (tension). Cara penempatan anchor untuk belayer dan teknik belay yang baik dapat dilihat pada gambar di bawah.
b. Anchor
Anchor (jangkar) adalah suatu titik keamanan awal dimana yang kita buat disangkutkan di sana. Anchor berguna untuk mengikatkan tali yang telah bersimpul tersebut dan dipakai untuk rappeling (turun), naik (memakai alat) atau untuk mengikatkan seseorang bila ia menjadi seorang belayer. Ada anchor alamiah yang relatif kuat dan ada pula anchor buatan dengan bantuan piton, bolt, chock, sling, dan etrier. Anchor buatan umumnya dipakai bila sama sekali tidak ada anchor alamiah misalnya pada suatu pitch di tengah-tengah tebing.
gambar 16. Membuat Anchor Bolt
c. Belaying dan penggunaan Runners
Ada beberapa pendaki yang senang melakukan panjat tebing seorang diri, tetapi kebanyakan kegiatan ini dilakukan oleh satu kelompok yang terdiri dari beberapa pendaki. Dalam ‘free climbing’ beberapa alat pendakian juga digunakan, meskipun pemakaian terbatas untuk proteksi saja. Tali misalnya, bukan untuk memanjat atau pegangan, tapi untuk tali pengaman (safety rope) yang menghubungkan pendaki dengan pendaki lain yang menjadi belayer.
Demikian halnya alat-alat lain seperti karabiner, piton, chock atau sling yang semuanya digunakan untuk proteksi. Pendakian oleh satu kelompok dipandang sebagai suatu hal yang menjamin keamanan para pendaki. Pendaki pertama diikat dengan tali pengaman yang dihubungkan dengan pendaki kedua yang melakukan belaying. Untuk menghindarkan akibat jatuh yang fatal, maka jarak jatuh si pendaki dengan belayer harus dipersempit. Caranya yaitu dengan menempatkan runners (running belay) pada jarak-jarak di tebing batu. Dengan menempatkan runners sebanyak mungkin, diharapkan faktor kejatuhan (fall factor) dapat diperkecil.
Bila pendaki pertama berhasil mencapai tempat berpijak yang aman, maka sekarang ia membantu mengamankan pendaki kedua dengan memberikan belaying (upper belay). Jarak antara tempat pendaki pertama berpijak dengan pendaki kedua yang menjadi belayer (low belaying) secara teknis disebut “pitch”. Jadi banyak pitch pada satu tebing tergantung frekuensi belaying yang dilakukan.
7. Abseiling (Rapeling)
Setelah mencapai puncak tebing, persoalan berikutnya adalah bagaimana turun kembali. Pada saat turun, pandangan pendaki tidak seluas atau sebebas ketika mendaki. Inilah sebabnya mengapa turun lebih sulit dari pada mendaki. Karenanya alat sangat diperlukan pada saat turun tebing (abseiling/rapeling). Cara turun dengan menggunakan tali melalui gerakan atau sistem friksi sehingga laju luncur pendaki dapat terkontrol.
Berdasarkan pemakaian alat maka abseiling dapat dibagi atas : teknik tanpa karabiner (classic method) dan teknik dengan karabiner (crab method).
gambar 17. Abseiling
a. Teknik Dulfer
Cara klasik dalam turun tebing. Hanya menggunakan tali luncur (abseiling rope) yang diletakkan diantara dua kaki lalu menyilang dada dan melalui bahu. Laju turun ditahan dengan satu tangan.
b. Teknik Modified Dulfer
Teknik semi klasik. Menggunakan karabiner tersebut tali luncur menyilang ke salah satu bahu lalu dipegang oleh satu tangan untuk kontrol.
c. Teknik Komando
Di Indonesia, cara ini sering dipakai oleh para komando. Caranya dengan melilitkan karabiner dengan tali sebanyak dua kali, dan dengan melewati antara kaki maka laju badan dikontrol dengan gerakan tali luncur tersebut pada salah satu tangan. Adakalanya tali luncur tersebut tidak melalui dua kaki tetapi hanya satu paha, lalu gerakan friksinya diatur oleh tangan yang sejajar dengan paha tersebut.
d. Teknik Brake Bar
Empat buah karabiner disusun melintang sedemikian rupa sehingga merupakan sistem friksi (lihat kembali: descendeur), lalu tali luncur melewatinya dengan dikontrol oleh satu tangan pendaki. Sistem friksi kemudian dikembangkan dengan sistem descendeur khusus yang disebut bar crab.
Abseiling dengan penggunaan karabiner atau tanpa karabiner dilakukan pada tebing batu yang tidak terlalu tinggi. Bila kita berhadapan dengan satu tebing yang panjang atau tinggi, maka cara ini tidak dianjurkan.Untuk kasus seperti itu dapat menggunakan descendeur, seperti figure of eight, bobbin atau brake bar.
Karena abseiling sangat tergantung pada alat yang dipakai maka persiapan penggunaanya harus betul-betul diperhatikan. Pastikan bahwa ikatan pada anchor benar-benar kuat. Periksa kembali apakah ujung tali telah disimpul. Sebaiknya selain abseile rope persiapkan juga safety rope yang diamankan oleh pendaki kedua.
Dengan memasang karabiner untuk meluncur, mutlak diperhatikan arah pintu (gate) karabiner tersebut. Ingat prinsip friksinya jangan sampai terbalik tetap gate karabiner. Kalau perlu screw gate karabiner.Tangan yang mengontrol laju tidak boleh dilepas, karena luncuran yang tidak terkontrol dapat berakibat fatal.
Jangan memaksa untuk melakukan lompatan pada abseiling, kecuali pada tebing yang menggantung (overhang). Turunlah perlahan-lahan, lompatan akan memberi tekanan pada tali sehingga kemungkinan tali lepas atau aus lebih besar. Lagi pula, lompatan sering membuat pendaki lepas kontrol dan mendarat kurang tepat.
8. Urutan Suatu Pendakian
a. Memilih rute
Pada umumnya dipilih berdasarkan data-data yang sudah ada, misalnya dari buku-buku panduan atau dari para pendaki yang pernah melewatinya.
b. Mempersiapkan peralatan
Persiapkan peralatan yang dibutuhkan sesuai dengan rute yang dipilih.
c. Menentukan leader
Leader dipilih oleh mereka yang dianggap lebih berpengalaman. Apabila dalam regu tersebut kemampuannya sama, leader dapat bergantian.
d. Mempersiapkan pendakian
- Buat anchor pada posisi yang tepat.
- Leader mempersiapkan diri, yaitu seluruh peralatan pendakian yang ditempatkan pada gantungan yang tersedia atau pada sekeliling harness.
- Belayer mempersiapkan diri, yaitu dengan mengikatkan diri pada anchor.
- Aba-aba. Apabila leader telah siap, dia akan berkata “ belay on” dan disahuti oleh belayer dengan “on belay”.
e. Memulai pendakian
- Leader naik menuju pitch (belayer harus seksama memperhatikan seluruh gerakan yang dilakukan oleh leader, cara memasang chock, melewati overhang/tebing atap/tebing yang menggantung istirahat, memasang sling, dsb.
- Leader menyangkutkan tali pengaman pada runner yang dibuatnya.
- Berikutnya kadang-kadang leader melakukan gerakan khusus atau menggunakan tangga untuk dapat terus naik.
- Bila leader jatuh akan tertolong oleh belayer bila runner telah terpasang kuat.
- Setelah cukup tinggi sekitar 40 meter lebih, leader akan mencari tempat yang cukup aman untuk memasang anchor.
- Adakala sebelum setinggi itu terdapat teras lebih baik anchor dipasang di sini. Bila leader merasa cukup aman terikat pada anchor yang dibuat dia akan berkata “belay off”
- Leader telah menyelesaikan pitch I
gambar 18. urutan pendakian
f. Belayer mempersiapkan diri untuk menyusul leader ke pitch I
- Langkah pertama ia akan membuat anchor
- Ujung tali yang dipakai untuk mem-belay disangkutkan pada tubuhnya
- Belayer melakukan cleaning up (membersihkan runner yang dibuat oleh leader). Biasanya ia dilengkapi oleh hammer yang berguna untuk mencopot piton.
- Belayer sebagai pendaki kedua sampai di pitch I
g. Meneruskan ke pitch I
- Bila ada pendaki ketiga, leader akan memasang fixed rope (tali tetap) untuk pendaki ketiga yang naik menggunakan ascendeur.
- Bila hanya berdua, akan dimulai proses pendakian seperti sebelumnya.
9. Artificial Climbing
Pada suatu keadaan tertentu dimana tebing tidak ada hold (tonjolan batu) tetapi hanya ada rekahan kecil yang tidak dapat digunakan untuk pijakan dan pegangan, maka pendakian akan menggunakan alat berupa piton, friend, chock serta etrier dalam menambah ketinggian.
Dalam hal ini etrier menjadi alat yang sangat vital sebagai pijakan. Dengan cara menempatkan etrier pada chock/friend/piton yang terpasang pada rekahan. Pendaki memasang lebih ke atas lagi chock/friend/piton, kemudian etrier dipindahkan pada chock/friend/piton yang terpasang tersebut. Demikian seterusnya berulang-ulang sehingga pendaki mencapai ketinggian yang diinginkan.
Demikianlah ringkasan suatu pendakian pada umumnya. Akhirnya makalah ini kami cukupkan sampai di sini. Untuk lebih jelas sebaiknya kita berlatih di lapangan/tebing.
gambar 19. aid climbing
Daftar Pustaka
Cappon, Massimo. Rock and Ice Climbing, London : Orbish Publishing, 1983
Edwin, Norman. Rock Climbing, Kertas Kerja pada Ceramah BKP Mapala UI, Jakarta, 1981
Ferbers, Peggy (ed.). Mountaineering : The Freedom of The Hills, Washington : The Mountainers, 1974
Loebis, Zamira E. Rock Climbing : Etika dan Gaya, Buletin Mapala UI, 1984
Lougman, Michael. Learning to Rock Climbing, San Fransisco, Sierra Club Books, 1981
Mc Clurg, David. Exploring Caves : A Guide to Underground Wilderness, Ontario : Thomas Nelson and Son‘s. Ltd.,1980
Meredith, Mike. Vertical Caving, Paris, 1982
Montgomery, R. Neil. Single Rope Technique : A Guide for Vertical Cavers, Sidney : The Sidney Speleological Society, 1977
Robbin, Royal. Advance Rockraft, Wasghington : La Sietta Press, 1973
Robbin, Royal. Basic Rockraft, Washington : La Sietta Press, 1973
Scott, Doug K. Big Wall Climbing, London : Kaye and Ward Ltd., 1981